“Walaupun demikian, di Mesir telah tersusun sebuah panitia yang
terdiri daru guru-guru besar hukum Islam di Universitas, sebagian pemuka
Al Azhar, beberapa orang Pasha, untuk mempelajari masalah solidaritas
sosial dalam Islam, terutama masalah zakat. Bukan untuk mencari
keridhaan Allah, bukan untuk kepentingan tanah air, tetapi untuk mencari
keridhaan orang-orang Amerika, dan untuk Pusat Studi Kemasyarakatan.” (Sayyid Quthb, Islam Amerika)
DALAM beberapa buku yang beredar mengenai Sayyid Quthb, baik itu yang
ditulis oleh Sayyid Quthb sendiri maupun orang lain, kita bisa membagi
tiga fase
kehidupan mengenai pribadi beliau. Pertama, saat Sayyid Quthb menjadi
akademisi di Mesir. Kedua, ketika menjadi peneliti di Amerika. Dan
ketiga, saat Asy Syahid terlibat dalam Revolusi Mesir hingga akhirnya di
hukum mati.
Dari sekian tiga fase tersebut, adalah menarik jika kita mengupas
mengenai pribadi Sayyid Quthb saat berada di Amerika. Karena Sayyid
Quthb kerap sekali memakai nama Amerika dalam menafsirkan ayat-ayat
Qur’an.
Menurut DR. Abdul Sholah Fatah Al Kholidi dalam bukunya Amarieeka Minaddaghili,
dikatakan bahwa Sayyid Quthb mengambil model Amerika sebagai contoh
konkret sebuah peradaban yang mendasarkan dirinya dari nilai kebendaan,
kejahilan, dan kekufuran serta Kebobrokan. Beliau menjelaskan ayat-ayat
yang tepat mengenai hal itu dan lurusnya pengertian yang dapat diambil
darinya dalam kitab tafsir fenomenalnya, yaitu Fii Dzhilalil Qur’an.
Selain itu, ketika kita mencoba menelisik kisah Sayyid Quthb di
Amerika, kita akan terhantar mengenai kajian historis tentang
fakta-fakta Peradaban Barat era 50-an yang disajikan Sayyid Quthb dengan
representasi Amerika. Kita juga akan melihat alasan mendasar apa yang
mengantarkan Sayyid turun dari dunia akademisi ke wilayah pergerakan,
dari kultur KeIslaman “Kampus” menuju seorang ahlut tauhid.
Analisa-analisa Sayyid Quthb tentang Amerika bisa kita temui dalam
banyak karya-karya beliau. Setidaknya hal itu tersebar di berbagai
tulisan Sayyid Seperti Ma’rakatul Islam war Ras’sumaaliyah (Peperangan Islam dengan Kapitalisme). As-Salamul Aa’lami wal Islam (Kedamaian dunia dan Islam), Dirasat Islamiyah (Beberapa Studi Tentang Islam), Al Islam wa Musykilatul Hadharah (Islam dan Problematika Budaya), serta Ma’alim fiththariqh (Petunjuk Jalan).
Sayyid Quthb pertama kali menginjakkan kaki di Amerika pada tahun 1949. Ia berada di negeri Paman Sam
tersebut selama kurang lebih 2,5 tahun. Sebenarnya alasan Sayyid Quthb
terbang ke Amerika bukanlah didasarkan atas keinginan pribadinya, namun
atas perintah Departemen Pendidikan dan Pengajar Mesir-tempat beliau
bekerja- yang melihat kekritisan Sayyid Quthb atas pendidikan Sekuler
yang dirasa meresahkan.
Sayyid Quthb memang sebelumnya pernah menjadi penilik di Departemen
Pendidikan Mesir –namun beliau memutuskan keluar karena ketidakcocokkan atas
sistem Sekular yang berlaku di Departemen tersebut. Oleh karena itu
kalangan yang menilai Sayyid Quthb seorang yang sekuler sebelum masuk
Ikhwan menjadi gugur dengan sendirinya. Lebih-lebih yang mengatakan
Sayyid Quthb liberal.
Karena sebelum masuk ke Ikhwan pun, pada tahun 1945 Sayyid Quthb sudah menulis dua buku Islam seperti Tashwirul Fanni Al Qur’an dan Masyahid al Qiyamat fi al Qur’an.
Dalam kedua bukunya ini, Sayyid mengatakan bahwa al Qur’an memiliki
bahasa dan susunan yang sangat Indah yang membuktkan bahwa dia bukanlah
ciptaan manusia. Bahkan dalam al ‘Adalat al Ijtima’iyyat di Al Islam
yang terbit pada tahun 1948, dia menegaskan bahwa keadilan yang menjadi
cita-cita umat Islam tidak akan mungkin terwujud kecuali harus dengan
Islam.
Al Kholidi dalam bukunya Amarieeka Minaddaghili, memberikan
fakta bagaimana karakter Sayyid saat menjadi penilik di Departemen
Pendidikan dan Pengajaran Mesir. Al Kholidi menyatakan bahwa Sayyid
tergolong pegawai yang tidak patuh dan loyal terhadap kebijakan di
Departemen. Ia tidak mau mendekatkan diri dan tidak mau menjadi pegawai
yang tidak diberi kebebasan untuk melakukan sesuatu. Meski terjadi
pergantian kepemimpinan di tubuh Departemen, Sayyid pun tidak mengurangi
daya kritisnya. Tidak jarang beliau dipojokkan dan diberondong ancaman
oleh rekan-rekan sejawatnya di Departemen.
Dengan begini, kita bisa menyimpulkan bahwa persoalannya bukan pada person to person
atau pimpinan di sebuah lembaga, tapi masalahnya ada di sistem. Maka
itu salah lah jika kita berpandangan bahwa merubah sesuatu dapat dimulai
ketika kita bisa meraih suatu jabatan dengan mengganti orangnya tanpa
dibarengi dengan perubahan sistem yang mendasar, tidak
setengah-setengah, yakni Sistem Islam. Oleh karena itu Sayyid pernah
menulisnya dalam sebuah bukunya Dirasah Islamiyah, yakni berjudul: “Ambil Islam Seluruhnya Atau Tinggalkan Sama Sekali”.
Inilah yang menyebabkan kenapa pihak pemerintah kewalahan melayani
kekritisan Sayyid Quthb dan mengambil jalan tengah untuk mengirim Sayyid
ke Amerika. Mereka berfikir apapun caranya mereka harus aman dari
“kerewelan” Sayyid yang tidak henti-hentinya mengritik kebijakan
Departemen. Jadilah, status Sayyid Quthb selama di Amerika adalah utusan
kebudayaan Mesir untuk mempelajari Sistem Pendidikan di Amerika.
Ketika di Amerika, Sayyid Quthb dibebani tugas untuk mengadakan studi
perbandingan mengenai kurikulum, program pendidikan, serta metode
pengajaran. Dalam melaksanakan itu semua, Sayyid tidak terikat pada satu
universitas tertentu atau satu materi kajian tertentu. Jadi beliau
diutus ke Amerika tanpa batas waktu. Pihak mesir tampaknya sengaja
melakukan ini karena mereka berfikir bagaimana caranya agar Sayyid tetap
tinggal di Amerika dan tidak pulang balik ke Mesir.
Setelah Sayyid mendapat program pengajaran secara khusus dalam bidang
bahasa Inggris yang belum pernah ia dapatkan selama di Darul Ulum,
segera beliau mengadakan peninjauan ke lapangan untuk mengkaji kurikulum
pada berbagai universitas diantaranya New York, Griley, Denver, dan San
Fransisco.
Namun sepanjang perjalanan Sayyid ke Amerika, disinilah ketegaran
seorang Sayyid diuji. Ia senantiasa mengharap ridho Allah atas berbagai
cobaan yang menghadang. Ia sadar telah dibuang dari Mesir, namun Sayyid
tetap tegar dan tak putus dari bertakwa kepada Allah, asal Islam tidak
pernah pergi dari kehidupannya.
Ya komitmen itu kemudian betul-betul dibuktikan Sayyid saat menumpang
kapal menuju Amerika dimana seorang pelacur dan pendeta menjadi dua
fitnah yang akan dihadapinya. Allahua’lam. [pizaro]
http://www.islampos.com/perjalanan-sayyid-quthb-ke-amerika-1-dibuang-dari-mesir-11398/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar